EKSISTENSIALISME
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being and notthingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya.
Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
a. Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L’Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. dia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu “tak ada watak manusia”, oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada—seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi”. Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
b. Kebebasan
Definisi
eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis
sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme
itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat
eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara
wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk
memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan
dipaparkan pengertiannya.
Kata dasar
eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex
yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi
adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar
dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri
sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman
disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).
Dari uraian
di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu
menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu
susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi
ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan
membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
Untuk lebih
memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu
kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan
filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama.
Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya
tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di
dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi
dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia
mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti
bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek.
Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang
disadarinya disebut obyek.
a.Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat
eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan
dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata
tidak dapat bertahan dari berbagai kritik.
Filsafat
selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi
krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan
mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah
perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat
eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas
aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi
dunia, yaitu:
1. Materialisme
Menurut
pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti
halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa
manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada
akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang
terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain
materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih
unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan
sapi.
2. Idealisme
Aliran ini
memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga
menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi
tidak ada barang lain selain pikiran.
3. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya
eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa
Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan
dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak
atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang
merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi
atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang
mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis.
Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu
memberikan makna pada kehidupan.
b. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh
eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich
Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre.
Namun dalam makalah ini penulis membatasi pada dua tokoh ini yang
dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard
dan Jean Paul Sartre.
1. Soren Aabye Kierkegaard
Soren Aabye
Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika
ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi
di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang
mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis
terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah
mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan
menjadi Pastor Lutheran.
Pada tahun
1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi
(The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan
kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran
Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende
Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun
1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran
subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske
Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah
Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler
(Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into
Death) tahun 1948).
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
a. Tentang Manusia.
Kierkegaard
menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang “bereksistensi”
bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti
iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh
luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah
ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh,
Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.
Alur
pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah
artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan “wujud”
secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia
mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia
berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat
Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik
dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan
personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna
kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan
jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati
agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti
apa artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard
bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah
karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel)
mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak
pernah hidup sebagai sesuatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individual”
yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang
lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan
agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak
menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan
alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. dia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. dia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
b. Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard
mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan
ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau
eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi
senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan
kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin,
maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki
kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia
itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya.
Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya
bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi
hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan
tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti
sebenarnya.Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis,
etis, dan rligius.
· Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
· Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
· Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
· Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
· Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
· Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
2. Jean Paul Sartre
Jean Paul
Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari
keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut
Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern
di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal,
terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah
pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni
dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal.
Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku
Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa
kanak-kanaknya.
Meski Sartre
berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan
menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak
menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya
lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12
tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia
menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sartre tidak pernah kawin secara resmi,
ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah
karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja.
Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya
adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga
mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being and notthingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya.
Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
a. Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L’Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. dia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu “tak ada watak manusia”, oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada—seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi”. Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
b. Kebebasan
Dalam
pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia
mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan
bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah
manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini
menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre.
Kebebasan
akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari
sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas.
Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya
sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi
kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan
sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu
yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre
mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan
satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah
memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan
kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan
sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang
pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan
dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark
sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita
masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat
bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi
persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti
soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu
dinilai relevan untuk masa kini.
Comments
Post a Comment