Surah Al-Insyirah
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
Dengan
Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah
ini berkaitan erat dengan surah sebelumnya, dan sebagian mufasir menganggapnya
sebagai sambungan langsung dari Surah al-Dhuha. Bagaimana pun juga,
surah ini ditujukan kepada Nabi dan diperluas kepada semua orang yang mengikuti
jejak langkah Nabi.
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ
صَدْرَكَ
1. Bukankah
Kami telah melapangkan dadamu untukmu?
Syaraha
berarti 'membukakan, menyingkapkan, menjelaskan, menerangkan atau menampakkan,'
dan 'melapangkan'. Syaraha juga berarti 'memotong'. Dalam dunia bedah,
kata tasyrih berarti pemotongan.
Shadara
berarti 'kembali dari pengairan, melanjutkan, memancar, keluar', dan shadr
adalah 'dada, atau peti'. Jika seseorang
mengatakan ia ingin 'mengambil sesuatu dari dadanya', maka sesuatu ini, tentu
saja, bukan obyek fisik. Melainkan, sesuatu yang sudah ia kenakan sendiri pada
dirinya, sehingga ia merasa terhimpit atau terbebani, seolah-olah ia tidak bisa
lagi bernapas dengan bebas. Dengan melepaskan diri dari beban ini, dengan
'melapangkan' diri, maka yang jauh menjadi dekat dan yang sulit menjadi mudah.
Syarh
(uraian terperinci, penjelasan) yang utama adalah berupa pengetahuan,
penyaksian langsung bahwa yang ada hanyalah Allah. Itulah syarh yang
terakhir; tidak ada apa-apa di luar itu. Tidak ada kelegaan di luar penyaksian
langsung.
Meskipun
ayat ini ditujukan kepada Nabi, namun ia berlaku kepada semua orang. Beban
kebodohan digantikan dengan beban kenabian, tapi beban tersebut menjadi ringan
karena berbagai rahasia alam semesta telah diungkapkan kepadanya.
وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ
2.
Dan mengangkat bebanmu dari (pundak)mu,
Wazara,
akar dari wizr (beban, muatan berat), adalah 'memikul atau menanggung
(suatu beban)'. Dari kata tersebut muncul kata wazir artinya 'menteri,
wakil, konselor', yakni, seseorang yang membantu penguasa atau raja untuk
memikul beban negara. Maksud ayat ini adalah bahwa kita dibebaskan dari
tanggung jawab apa pun selain daripada sebagai hamba Pencipta kita. Jika kita
sungguh-sungguh memahami penghambaan, maka kita tidak lagi terbebani seperti
sebelumnya tapi kita malah hanya melaksanakan tanggung jawab dan kewajiban
kepada Allah, tanpa menambah beban lagi kepada diri kita.
الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ
3.
Yang telah memberatkan unggungmu?
Lagi-lagi
ini merupakan penjelasan metaforis. Ada di antara kita yang nampaknya memikul
beban berat, meskipun, sebenarnya, tidak ada beban yang bersifat permanen. Jika
kita selalu ingat akan Allah (zikrullah), sadar bahwa pada suatu saat napas
kita bisa berhenti, dan bahwa kita akan segera kembali menjadi debu, maka kita
pun akan sadar bahwa yang dapat kita lakukan saat ini hanyalah menghamba dan
berusaha berbuat sebaik-baiknya. Tidak ada yang harus kita lakukan selain dari
itu. Secara tidak sengaja mungkin kita telah mengundang kesulitan di dunia ini,
namun kesulitan dunia ini tetap akan datang dan menemukan kita. Jika kita tidak
memperdulikan orang fi sabilillah (di jalan Allah), jika kita tidak
membantu orang, melayani dan membimbing mereka, maka berbagai kesulitan akan
menimpa kita.
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
4.
Dan meninggikan untukmu sebutan kamu?
Ini
berkenaan dengan zikir lahiriah Nabi. Kita tidak bisa melakukan zikir lahiriah
yang lebih tinggi dari Nama Allah. Zikir batiniah Nabi merupakan kesadaran
beliau yang tak henti-henti, berkesinambungan, dan tidak terputus terhadap
Penciptanya. Zikir Nabi terhadap Penciptanya memiliki kedudukan paling tinggi
karena di antara ciptaan Allah beliaulah yang paling dekat kepada-Nya.
Ketika
Nabi berzikir, zikimya diangkat lebih tinggi sehingga zikir Nabi berada di
urutan paling tinggi; kehidupannya sendiri merupakan zikrullah.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا
5. Karena
sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا
6. Sesungguhnya
bersama setiap kesulitan ada kemudahan.
Dua
ayat ini memberikan penjelasan khusus mengenai 'sang' kesulitan, yakni 'bersama
kesulitan ada kemudahan', yang menunjukkan bahwa hanya ada satu kesulitan. Ini
berarti bahwa pada setiap kesulitan ada dua kemudahan atau solusi. Solusi
pertama adalah bahwa kesulitan akan berlalu: ia tidak bisa berlalu dengan
sendirinya, tapi akhirnya ia akan berlalu karena lambat laun kita pergi darinya
melalui kematian. Solusi kedua adalah bagi pencari sejati; solusinya terletak
dalam pengetahuan tentang proses awal terjadinya kesulitan kemudian melihat
kesempumaan di dalamnya.
Umpamanya,
seseorang bisa saja melakukan kesalahan dengan memasuki areal proyek
pembangunan yang berbahaya sehingga kepalanya tertimpa sesuatu. Ia mungkin saja
tidak menyadari berbagai faktor yang terkait dengan kecelakaannya, apakah orang
lain bermaksud mencelakakannya atau tidak, tapi yang jelas ia akan mengalami
musibah itu. Begitu ia mengetahui bagaimana musibah itu terjadi, betapa
sempurna kejadiannya! Kepalanya akan terluka, tapi itu pun akan sembuh: itu adalah
kemudahan lain. Bersamaan dengan sulitnya merasakan pemisahan muncul
pertolongan untuk mengetahui bahwa kita berhubungan.
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
7.
Maka jika engkau sudah bebas, tetaplah tabah bekerja keras!
Makna
syari’ (lahiriah) dari ayat ini adalah bahwa begitu kita selesai
berurusan dengan dunia dan dengan segala tanggung jawab kita di dalamnya,
hendaknya kita bersiap-siap untuk mencari pengetahuan langsung tentang Realitas
Ilahi. Menurut penafsiran golongan ahl al-Bayt tentang ayat ini, bila
kita selesai menunaikan salat-salat formal kita, maka hendaknya kita
melanjutkan ke tahap berikutnya, yakni begadang sepanjang malam melaksanakan
salat lagi, zikir dan belajar. Bila kita sudah menyelesaikan segala kewajiban
kita terhadap penciptaan dan terhadap Pencipta kita, maka hendaknya kita
berbuat lebih, dan mencurahkan diri kita sepenuhnya. Perjuangan dan upaya batin
ini adalah makna harfiah dari kata jihad, yang hanya dalam peristiwa
tertentu saja menjadi 'perang suci'.
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
8. Dan
jadikanlah Tuhanmu sebagai tujuan [kerinduan] engkau semata!
Ketika
kita mempraktikkan hasrat keingintahuan kita, bila kita menginginkan
pengetahuan, maka kita akan menjadi pengetahuan, persis sebagaimana kita
mempraktikkan kemarahan, maka kita pun akan menjadi kemarahan. Begitu kita
meletakkan dasar-dasar yang perlu untuk menunaikan segala kewajiban kita, maka
kita pun sah untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan kita. Bagaimana
pun, menunaikan kewajiban kita terlebih dahulu adalah penting, karena, kalau
tidak kita akan melaksanakan keinginan untuk melarikan diri
Comments
Post a Comment