MAKNA LEKSIKAL




MAKNA LEKSIKAL
               
Menurut Chaer (2009:60) leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon disamakan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat disamakan dengan kata.
Menurut Djajasudarma (2009:53) arti leksikal adalah arti kata yang sesuai dengan apa yang kita jumpai di dalam leksikon (kamus). Secara operasional di dalam kalimat, arti-arti leksikal dapat begeser, berubah, atau menyimpang. Sedangkan menurut Depdiknas (2008:805) leksikal adalah berkaitan dengan kata, berkaitan dengan leksem, dan berkaitan dengan kosakata.
Menurut Djajasudarma (2009:54) terdapat macam-macam hubungan makna, seperti sinonimi, polisemi, homonimi, hiponimi dan antonimi.
1.      Sinonimi adalah kesamaan makna antara dua kata atau lebih (Wasrie, 2012:115)
Contoh: kata fakir bersinonim dengan miskin
2.      Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 2009:101).
Contoh: kata bisa bermakna dapat dan racun.
3.      Homonimi adalah hubungan makna dan bentuk bila dua buah makna atau lebih dinyatakan dengan sebuah bentu yang sama (Djajasudarma, 2009:64).
Contoh: kata pukul bermakna jam dan kegiatan memukul.

4.      Hiponimi adalah hubungan makna yang mengandung pengertian hierarki (Djajasudarma, 2009:71).
Contoh: kata bunga termasuk mawar, melati, anggrek, dan seterusnya
5.      Antonimi adalah pertentangan makna antara dua kata (lawan kata) (Wasrie, 2012:118).
Contoh: kata buncit berantonim dengan kata langsing.


MAKNA GRAMATIKAL
Gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 2009:62).
1.      Proses Afiksasi
 Afiksasi adalah proses sebuah kata mengalami pengimbuhan.
Afiksasi sendiri berasal dari kata afiks yang berarti imbuhan yang dibagi ke dalam empat kelompok, yakni:
a.       Prefiks (awalan) : meN–, di–, pe–, peN-, per–, ber–, di-, ter-, se-, ke-, para-, maha-
  1. Infiks (sisipan) : – em –, – el –, – er –, -in-
  2. Sufiks (akhiran) : – an, – kan, – I, – wan, – wati, – nya
  3. Konfiks (gabungan antara prefiks dan sufiks) : ke-an, peN-an, per-an, ber-an, se-nya.
2.      Proses Reduplikasi
Proses pengulangan atau reduplikasi adalah  pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak (Ramlan, 1985:63). Menurut Muslich (2010:52) jenis pengulangan ada empat jenis, yakni: pengulangan seluruh, pengulangan sebagian, pengulangan yang berkombinasi dengan pembubuhann afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem.
a.       Pengulangan Seluruh
Pengulangan seluruh ialah pengulangan bentuk dasar, tanpa perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks. Misalnya: buku-buku, malam-malam.
b.        Pengulangan Sebagian
Pengulangan sebagian ialah pengulangan bentuk sebagian dari bentuk dasarnya. Misalnya: membaca-baca.
c.       Pengulangan yang Berkombinasi dengan Pembubuhan Afiks
Pengulangan yang berkombinasi dengan pembubuhan afiks ialah pengulangan bentuk dasar disertai dengan penambahan afiks secara bersama-sama atau serentak sehingga bersama-sama pula mendukung satu arti. Misalnya: mobil-mobilan
d.       Pengulangan dengan Perubahan Fonem
Pengulangan dengan perubahan fonem ialah pengulangan bentuk dasar disertai perubahan fonem. Misalnya: lauk-pauk.

3.      Proses Komposisi
Proses komposisi atau pemajemukan adalah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya (Ramlan dalam Pateda, 2010:145). Misalnya: orang kecil (rakyat jelata)


GAYA BAHASA
                Gaya bahasa atau majasa adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan yang dipakai dalam suatu karangan yang bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang (Wasrie, 2012:120).
                Jenis majas menurut Djajasudarma (2009:24) dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
1.      Perbandingan;
a.       Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang dengan sengaja kita anggap sama.
 Contoh: seperti gajah masuk kampung (orang berkuasa dapat berbuat seenaknya dilingkungan orang lemah).
b.      Kiasan atau metafora ialah perbandingan yang implicit- jadi tanpa kata seperti atau sebagai –diantara dua hal yang berbeda.
Contoh: buah hati
c.       Penginsanan atau personifikasi ialah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insane kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.
Contoh: cinta itu buta.
2.      Pertentangan
a.       Hiperbola ialah unngkapan yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan: jumlahnya, ukurannya, atau sipatnya.
Contoh: sejuta kenangan indah.
b.      Litotes ialah majas yang di dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif  atau bentuk yang bertentangan.
Contoh: hasilnya tidak mengecewakan (hasilnya baik).
c.       Ironi ialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan, dengan maksud berolok-olok.
Contoh: bukan main bersihnya di sini, dimana-mana ada sampah.

3.      Pertautan
a.       Metonimia berupa pemakaian nama cirri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal, sebagai penggantinya.
Contoh: Chairil Anwar dapat kita nikmati.
b.      Sinekdoke ialah majas yang menyebut nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya atau sebaliknya.
Contoh: Jakarta lawan Medan.
c.       Kilatan disebut juga alusi ialah majas yang menunjuk secara tidak langsung kesuatu peristiwa atau tokoh berdasrkan praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca dan adanya kemampuan pada pembaca untuk menangkapa pengacuan itu.
Contoh: apakah peristiwa Madiun akan terjadi lagi?
d.      Eufimisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan, atau yang tidak menyenangkan.
Contoh: tunawisma.


MAKNA KONTEKSTUAL
Makna kontekstual muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dengan situasi (konteks). Konteks  yang dimaksud yaitu: konrteks orangan, konteks situasi, konteks tujuan, konteks formal/tidaknya pembicaraan, konteks suasana hati pembicara/pendengar, konteks waktu, konteks tempat, konteks objek, konteks alat kelengkapan bicara/dengar pada pembicara/pendengar, konteks kebahasaan, dan konteks bahasa (Pateda, 2010:116).




Comments