Nilai Rapor atau Nilai Hidup



Nilai Rapor atau Nilai Hidup

Jika sebagai orangtua kita diminta memilih, antara nilai rapor atau nilai kehidupan (nilai moral dan nilai iman) yang mesti didahulukan pada anak anda, maka mana yang akan anda pilih?
Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Namun belakangan ternyata tak sedikit orangtua yang merasa sekolah umum tak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Sekolah umum lebih cenderung menekankan pada nilai rapor anak.
Oleh karena itu, muncullah ide orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (homeschooling) atau dikenal juga dengan istilah sekolah mandiri, atau home education atau home based learning.


Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964).

Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Setelah itu, homeschooling terus berkembang sampai saat ini.

Kalangan homeschooling menilai, sekolah formal lebih banyak memasung potensi anak dengan memberikan standar yang seragam dari sudut pandang nilai. Sehingga, tertanam pada anak-anak bahwa nilai adalah ukuran keberhasilan di sekolah.

Padahal, sejalan dengan perkembangan psikologi modern, potensi anak ternyata berbeda berdasarkan pada dominasi otak kiri atau kanan yang dibawa anak. Salah satu karakteristik anak otak kiri adalah kemampuan matematis dan mengingat yang tinggi. Tipe ini yang biasanya banyak menjadi juara kelas dan menjadi idola sekolah.

Sedangkan anak dengan potensi otak kanan terkadang tersingkirkan dari sistem sekolah. Anak dengan potensi ini biasanya memiliki kemampuan imajinasi dan bahasa yang tinggi. Sehingga terkadang mereka unggul pada pelajaran non-exact termasuk seni. Padahal, potensi anak tersebut sangat besar, hanya saja pendidik terkadang memandang ini sebagai ketakmampuan sang anak


Banyaknya anak luar biasa yang tersingkirkan oleh konsep pendidikan formal mampu muncul sebagai tokoh penemu dunia. Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.

Sama halnya dengan penemu bola lampu Thomas Alfa Edison, penemu asal Amerika ini ternyata sempat dianggap sebagai anak stress dan dungu di sekolahnya. Thomas kecil hanya mengecap tiga bulan bangku sekolah sebelum dikeluarkan. Berkat ibunya, Thomas tumbuh menjadi anak yang dinamis dan terus mengembangkan dirinya melalui lingkungan berkat sokongan sang ibu. Kasus yang sama juga mendera Albert Einsten, ia sempat gagal dalam tes masuk sekolah dan dicap sebagai anak bodoh. Namun ternyata melalui metode belajar sendiri ia mampu menjadi seoran tokoh dunia paling terkenal di bidang fisika. Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada penelitian ilmiah tentang kapan pastinya konsep homeschooling ini masuk. Akan tetapi, sebenarnya telah banyak tokoh terkenal Indonesia yang juga lahir dari homeschooling secara tidak sadar, seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006). Konsep ini juga memiliki landasan jelas pada UUD  Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003).
Salah satu nilai utama homeschooling ini diantaranya adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; siap terjun pada dunia nyata.
Output sekolah rumah juga lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba, konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis, biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.
Beberapa kelemahan diantaranya, membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua, kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada risiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

Kekecewaan pada sekolah formal juga akhirnya banyak memunculkan konsep pendidikan baru. Di Bogor misalnya konsep sekolah alam banyak diminati bahkan selalu disesaki ribuan orangtua anak setiap tahun ajaran baru.
Terlepas dari pandangan tentang pendidikan tersebut, orangtua tetap memegang peran sentral dalam pendidikan anak. Penanaman nilai-nilai hidup yang menjadi bekal anak untuk menemui kehidupan yang sesungguhnya tentu lebih banyak bersumber dari orangtua. Tak kalah pentingnya adalah orangtua mesti melihat dengan jeli potensi yang dimiliki oleh sang anak, karena secara teori seorang anak lahir dengan potensi yang berbeda.
Bayangkan betapa tertekannya anak jika harus terus menerus mengejar yang bukan menjdi pedoman dan acuan dalam hidupnya kelak, hanya nilai dan nilai yang dikejar, sehingga otak anak penuh tekanan dan akhirnya tidak sedikit anak yang bisa dikatakan depresi dengan tekanan tersebut hingga akhirnya mereka kurang termotivasi dalam belajar.
Hal ini sangat sentral sehingga guru seakan-akan menjadi tersangka nomor satu dalam kasus ini, tapi dibalik itu semua ternyata sistem lah yang sangat keliru dalam proses kegiatan belajar mengajar dijenjang pendidikan.
Sadar atau pun tidak, saat ini kita sedang menjalankan proses yang keliru, dimana nanti proses itu akan berimbas pada masa depan anak khususnya. Karena anak hanya dibekali dengan aspek kognitif (pengetahuan), dan nilai angka yang menjadi acuan. Seharusnya penanaman moral dan karakter diperhatikan disini, karena kelak mereka hidup bukan angka yang menjadi patokan, tapi bagaimana mereka hidup dapat berguna bagi diri sendiri maupun orang lain.

Comments